Profil Desa Tanjungsari

Ketahui informasi secara rinci Desa Tanjungsari mulai dari sejarah, kepala daerah, dan data lainnya.

Desa Tanjungsari

Tentang Kami

Profil Desa Tanjungsari, panggung matahari terbit Borobudur. Mengupas potensi wisata ikonik Punthuk Setumbu, agrowisata, peran BUMDes, data demografi, serta tantangan desa di perbukitan tinggi penopang pariwisata Magelang.

  • Destinasi Pemandangan Ikonik

    Desa ini merupakan lokasi dari Punthuk Setumbu, salah satu spot terbaik di dunia untuk menyaksikan pemandangan matahari terbit dengan siluet Candi Borobudur yang magis.

  • Ekonomi Ganda Berbasis Alam

    Perekonomian Tanjungsari ditopang oleh dua pilar kuat yang saling melengkapi, yakni pariwisata berbasis alam yang masif dan sektor pertanian yang subur di lereng perbukitan.

  • Model Pemberdayaan Masyarakat

    Pengelolaan objek wisata unggulan seperti Punthuk Setumbu dilakukan secara mandiri oleh masyarakat melalui lembaga desa (BUMDes), menjadi contoh sukses ekonomi pariwisata berbasis komunitas.

XM Broker

Menjauh dari keramaian gerbang utama Candi Borobudur, di deretan perbukitan Menoreh yang megah, terdapat sebuah desa yang menawarkan perspektif berbeda tentang kemegahan warisan dunia tersebut. Desa Tanjungsari, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, telah memantapkan dirinya sebagai "balkon alami" kawasan Borobudur. Desa ini bukan tujuan utama untuk menyentuh batu candi, melainkan sebuah destinasi untuk meresapi spiritualitasnya dari ketinggian, ditemani kabut pagi dan semburat emas fajar. Dengan daya tarik wisata alam yang mendunia dan topangan sektor agraris yang kuat, Tanjungsari menampilkan model desa penyangga pariwisata yang unik, di mana alam dan ekonomi kerakyatan tumbuh dalam harmoni.

Sejarah dan Transformasi: Dari Tanah Subur ke Panggung Dunia

Secara toponimi, nama "Tanjungsari" menyiratkan esensi dari wilayahnya. Kata "Tanjung" sering diartikan sebagai daratan yang menjorok atau area perbukitan, sementara "Sari" bermakna inti atau keindahan. Nama ini merefleksikan karakteristik desa sebagai tanah perbukitan yang indah dan subur. Selama berpuluh-puluh tahun, Desa Tanjungsari dikenal sebagai desa agraris yang tenang, di mana warganya menggantungkan hidup dari hasil bumi yang melimpah berkat kesuburan tanah vulkanik di lereng perbukitan Menoreh.Transformasi besar desa ini dimulai pada awal tahun 2000-an. Seorang fotografer lokal menemukan sebuah titik di salah satu bukit di Dusun Kerahan, yang kemudian dikenal sebagai Punthuk Setumbu, sebagai lokasi ideal untuk mengabadikan momen matahari terbit dengan siluet Candi Borobudur. Popularitasnya meledak secara eksponensial setelah menjadi lokasi pengambilan gambar untuk film layar lebar populer "Ada Apa Dengan Cinta? 2" pada tahun 2016. Sejak saat itu, takdir Desa Tanjungsari berubah. Dari sebuah desa pertanian yang sunyi, ia menjelma menjadi salah satu destinasi wajib bagi wisatawan domestik dan mancanegara yang memburu pengalaman pagi hari paling ikonik di Borobudur.

Geografi Perbukitan dan Struktur Demografi

Desa Tanjungsari secara geografis terletak di bagian barat daya dari kompleks Candi Borobudur, menempati kontur lahan yang bergelombang hingga curam. Luas wilayahnya tercatat sekitar 2,85 kilometer persegi. Lokasinya di ketinggian memberikan keunggulan berupa udara yang sejuk dan pemandangan panorama yang luas. Berdasarkan data kependudukan terakhir, Desa Tanjungsari dihuni oleh sekitar 3.500 hingga 4.000 jiwa. Angka ini menghasilkan kepadatan penduduk yang lebih rendah dibandingkan desa-desa di dataran rendah seperti Desa Borobudur atau Wanurejo, mencerminkan karakteristik wilayahnya yang lebih agraris dan berbukit.Batas-batas wilayah Desa Tanjungsari yaitu:

  • Berbatasan dengan Desa Ngargogondo.

  • Berbatasan dengan Desa Karangrejo.

  • Berbatasan dengan Desa Ngadiharjo.

  • Berbatasan dengan wilayah perbukitan Menoreh.

Struktur mata pencaharian warganya menunjukkan dualisme ekonomi yang menarik. Sebagian besar penduduk masih setia pada profesi sebagai petani, menggarap sawah terasering dan ladang palawija. Namun seiring meroketnya pariwisata, jumlah warga yang beralih atau menambah profesi di sektor jasa pariwisata meningkat tajam. Mereka kini bekerja sebagai pengelola objek wisata, penyedia jasa parkir, pedagang di sekitar lokasi wisata, pemilik homestay dan operator tur jip.

Magnet Wisata Ikonik Global

Kekuatan utama pariwisata Desa Tanjungsari bertumpu pada beberapa destinasi spesifik yang telah mendunia. Destinasi ini tidak hanya menarik pengunjung tetapi juga telah menciptakan ekosistem ekonomi yang menghidupi ratusan warga.Pusat dari semua itu ialah Punthuk Setumbu. Dikelola sepenuhnya oleh masyarakat lokal melalui BUMDes dan kelompok sadar wisata (Pokdarwis), bukit ini menjadi mesin ekonomi desa. Setiap pagi buta, ratusan hingga ribuan pengunjung mendaki jalur yang telah tertata rapi untuk menyaksikan fenomena alam yang magis: matahari terbit perlahan dari balik Gunung Merapi dan Merbabu, sementara lautan kabut menyelimuti lembah di bawahnya, dengan Candi Borobudur yang tampak agung sebagai siluet di tengahnya. Pengalaman ini dikenal dengan sebutan "Borobudur Nirvana Sunrise".Selain Punthuk Setumbu, Desa Tanjungsari juga mendapatkan imbas positif yang luar biasa dari keberadaan Gereja Ayam atau Bukit Rhema. Meskipun secara administratif bangunan unik ini terletak di perbatasan Desa Karangrejo, akses utama dan lokasinya yang sangat berdekatan membentuk satu sirkuit wisata tak terpisahkan dengan Punthuk Setumbu. Pengunjung yang datang untuk melihat matahari terbit biasanya akan melanjutkan perjalanan ke Bukit Rhema. Bangunan berbentuk merpati bermahkota ini berfungsi sebagai rumah doa bagi semua agama dan menjadi daya tarik arsitektural yang sangat populer di media sosial, turut menyumbang arus wisatawan dan pendapatan bagi warga Tanjungsari yang menyediakan jasa transportasi, kuliner, dan akomodasi di sekitarnya.

Pertanian Sebagai Tulang Punggung dan Potensi Agrowisata

Di luar gemerlap pariwisata pagi hari, identitas asli Desa Tanjungsari sebagai lumbung pangan tetap terjaga. Lereng-lereng perbukitan dimanfaatkan secara produktif untuk pertanian padi, singkong, jagung, serta berbagai jenis sayuran. Sektor ini tidak hanya menjamin ketahanan pangan lokal tetapi juga menjadi fondasi ekonomi yang stabil ketika sektor pariwisata mengalami fluktuasi.Perpaduan antara lanskap pertanian yang indah dan industri pariwisata yang sudah matang membuka peluang besar untuk pengembangan agrowisata. "Visi kami ke depan ialah mengintegrasikan kedua potensi ini. Wisatawan tidak hanya datang untuk berfoto saat matahari terbit, tetapi kami ingin mereka tinggal lebih lama untuk merasakan pengalaman memanen padi, belajar membuat gula jawa, atau menikmati kopi langsung dari kebun petani," jelas seorang pengurus BUMDes Tanjungsari.Beberapa rintisan agrowisata mulai bermunculan dalam skala kecil, seperti homestay yang menawarkan paket tur kebun dan sawah. Potensi ini, jika dikembangkan secara profesional, dapat mendiversifikasi produk wisata Tanjungsari, mengurangi tekanan pada satu titik (Punthuk Setumbu), dan yang terpenting, memberikan pendapatan tambahan yang signifikan bagi para petani.

Tata Kelola Desa dan Visi Pengembangan Berkelanjutan

Pemerintah Desa Tanjungsari bersama dengan BUMDes memegang peran sentral dalam mengelola aset wisata dan memastikan manfaatnya kembali kepada masyarakat. Keberhasilan pengelolaan Punthuk Setumbu menjadi studi kasus yang menarik, di mana pendapatan dari tiket masuk, parkir, dan sewa kios dikelola secara transparan dan digunakan untuk pembangunan infrastruktur desa, program sosial, dan pelestarian lingkungan.Namun, tantangan ke depan tidaklah sedikit. Ketergantungan yang tinggi pada dua atraksi utama membuat desa rentan jika popularitas keduanya menurun. Kemacetan lalu lintas pada dini hari menuju titik-titik wisata menjadi masalah klasik yang memerlukan solusi rekayasa lalu lintas yang lebih baik. Selain itu, pengelolaan sampah dari wisatawan dan potensi erosi di lahan miring akibat pembangunan fasilitas wisata menjadi isu lingkungan yang harus ditangani secara serius.Visi pengembangan desa ini berfokus pada pariwisata berkelanjutan. Diversifikasi atraksi menjadi kunci, seperti pengembangan jalur trekking dan sepeda gunung yang terstandarisasi, pembangunan gardu pandang baru di titik-titik potensial, serta penguatan paket-paket agrowisata. Peningkatan kapasitas SDM lokal dalam hal pelayanan, bahasa asing, dan pemasaran digital juga terus dilakukan untuk meningkatkan daya saing desa di kancah pariwisata global.

Penutup: Harmoni Alam, Spiritualitas, dan Ekonomi Kerakyatan

Desa Tanjungsari menawarkan sebuah narasi yang berbeda dalam mozaik besar pariwisata Borobudur. Ia mengajarkan bahwa daya tarik sebuah destinasi tidak selalu harus berasal dari kedekatan fisik dengan objek utama, melainkan bisa lahir dari perspektif, suasana, dan pengalaman yang unik. Desa ini berhasil mengubah karunia alam berupa lanskap perbukitan menjadi aset ekonomi yang kuat, yang dikelola dengan semangat kebersamaan dan pemberdayaan masyarakat. Ke depan, kemampuan Tanjungsari untuk terus merawat harmoni antara konservasi alam, pengembangan pariwisata, dan penguatan sektor pertanian akan menentukan keberlanjutannya sebagai salah satu panggung fajar terindah di Indonesia.